4 Juli 2012

Belajar dari Dzul Bajadain (Pemilik Baju yang Dibelah Dua)


Saudaraku…

Saat itu suasana malam terasa gelap gulita, cuaca dingin menusuk tulang. Para sahabat pun beristirahat total di perkemahan ala kadarnya yang mereka dirikan, agar tubuh kembali segar dan sehat karena keesokan harinya mereka akan melanjutkan perjalanan menuju Madinah. Mereka baru keluar meninggalkan Tabuk, negeri yang baru saja mereka taklukan dari tangan Romawi tanpa melalui kontak senjata; Rajab tahun 9 H.
Abdullah bin Mas’ud ra terbangun dari tidurnya. Sayup-sayup ia mendengar suara seseorang yang sedang menggali tanah. Terdorong perasaan ingin mengetahui apa yang terjadi, maka ia bangkit dan memandang ke alam sekitar. Samar-samar ia melihat ada cahaya lampu yang tidak benderang. Ia mendekat ke arah lampu tersebut.
Dari jarak yang tak terlalu dekat, ia melihat Rasulullah saw sedang berada di dalam liang, sementara Abu Bakar dan Umar berada di sekitar liang yang digali oleh beliau. Kedua sahabat itu menyinari beliau dengan pelita. Nabi saw bersabda, “Dekatkan jenazah saudara kalian kepadaku!.”
Ketika bersiap hendak meletakkannya di liang lahatnya, beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya sore tadi aku telah ridha kepadanya, maka ridhailah dia.”
Air mata menetes dari kedua mata beliau seraya bersabda, “Sesungguhnya ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.”
Maka Ibnu Mas‘ud berkata, “Seandainya saja aku yang berada di liang tersebut.”
Ibnu Mas‘ud berkata, “Demi Allah, sungguh aku bercita-cita seandainya saja aku yang menempati posisinya. Padahal aku lebih dahulu masuk Islam 15 tahun sebelum dia.”
Saudaraku…
Siapakah sahabat mulia itu? Yang mana Rasulullah saw menggali liang dan menguburkan sahabat ini dengan kedua tangan beliau? Dia adalah Abdullah Dzul Bajadain Al Muzani. Sahabat yang syahid setelah berjuang melawan demam yang menderanya di Tabuk. Tentu anda belum mengenalnya bukan?
Namanya memang tidak setenar sahabat lainnya. Dan bahkan namanya sangat asing di telinga kita. Ia disebut Abu Nu’aim dalam kitab ‘al hilyah’ sebagai salah seorang ahli Shuffah. Tapi ketidak masyuran namanya bukan berarti tidak memiliki keistimewaan di hati Rasulullah saw. Beliau menggali kubur dan memakamkan sahabat ini dengan kedua tangan beliau, menjadi bukti betapa mulia sahabat ini di mata beliau.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa ia bernama; Abdul Uzza dari kabilah Muzaniyah. Yang terletak di antara Mekkah dan Madinah. Kedua orang tuanya meninggal dunia saat ia menikmati masa kanak-kanak. Lalu ia diasuh oleh pamannya sampai usia 16 tahun. Setelah mendengar beberapa ayat al Qur’an yang dibaca oleh sahabat Nabi dalam perjalanannya ke Madinah, ia memeluk Islam dan merahasiakan ke-Islamannya di hadapan pamannya selama tiga tahun. Jika ia hendak melaksanakan shalat, ia keluar ke padang sahara agar tak diketahui oleh paman dan masyarakatnya.
Setelah ia mengabarkan ke-Islamannya, sang paman marah dan menarik semua pemberian yang pernah ia berikan kepada Abdul Uzza. Tidak terkecuali baju yang melekat di tubuhnya. Namun ia tak bergeming. Karena hidup dalam naungan Islam tak bisa ditukar dengan harta dunia. Bahkan emas dan permata sekalipun.
Di tengah perjalanan menuju Madinah, ia menemukan seonggok kain. Ia mengambilnya dan membelahnya menjadi dua. Sehelai kain ia jadikan sebagai sarung. Dan yang lain ia jadikan sebagai selendang. Layaknya ia sedang ihram.
Ia sampai di Madinah sebelum Subuh. Dan kebiasaan Rasulullah saw setelah shalat, beliau memperhatikan wajah-wajah para sahabat satu persatu. Setelah beliau menemukan wajah asing yang belum pernah beliau lihat, beliau bertanya, “Siapakah engkau ini? Dan mengapa engkau berpakaian seperti ini?.”
Ia menjawab, “Namaku; Abdul Uzza. Dan aku mengenakan pakaian seperti ini karena pamanku mengusirku beberapa waktu yang lalu dan menarik semua pemberiannya kepadaku termasuk pakaian yang kukenakan. Aku sabar selama tiga tahun sehingga aku datang menemui Engkau dalam keadaan istiqamah mentaati Allah swt.”
Nabi saw bersabda, “Sejak hari ini engkau bukan lagi Abdul Uzza, tapi Abdullah Dzul Bajadain. Allah akan mengganti kedua potong pakaianmu ini dengan rumah dan pakaian di surga. Engkau bisa mengenakannya kapan engkau suka dan menikmati hidangan di dalam rumahmu apa yang engkau suka.”
Setelah itu ia menjadi penghuni Shuffah dan banyak menghafal al Qur’an dari Nabi saw.
Ia dikenal sebagai sahabat yang mengeraskan suara saat berdo’a dan memohon kepada Allah swt. Ibnu Adra’ menuturkan, ““Pada suatu malam aku pergi bersama Rasulullaah saw, kemudian beliau melewati seorang lelaki di dalam masjid sedang mengangkat suaranya tinggi-tinggi. Aku (ibn Adra’) berkata, ‘Wahai Rasulullaah, barangkali lelaki ini sedang riya’ (memamerkan ibadahnya).’ Beliau bersabda: “Bukan, dia sedang berdo’a dan mengadu.” H.R; Baihaqi.
Ketika hendak berangkat ke Tabuk, Dzul Bajadain berkata kepada Nabi, “Berdoalah kepada Allah agar mengaruniaiku kesyahidan wahai Rasulullah.”
Maka Nabi mengikatkan seutas tali berwarna coklat (terbuat dari batang sebuah pohon). Beliau berdoa, “Ya Allah, aku mengharamkan darahnya untuk orang-orang kafir.”
Mendengar doa beliau, Dzul Bajadain berkata, “Bukan itu yang kuinginkan.”
Nabi bersabda, “Sesungguhnya ketika engkau keluar untuk berperang, kemudian engkau sakit demam hingga wafat, atau terlempar dari hewan tungganganmu hingga lehermu patah, maka engkau adalah syahid.”
Dan sejarah mencatat, ia syahid karena demam yang dideritanya. Allah dan rasul-Nya meridhaimu wahai Dzul Bajadain.
Saudaraku..
Mari kita mengambil mutiara berharga dari kisah Abdullah bin Naham Al Muzani, yang digelari nabi saw “Dzul Bajadain” pemilik baju yang dibelah dua.
• Sahabat agung ini mengajari kita hakikat sebuah keikhlasan. Walau namanya tak dikenal dan tak seharum sahabat lainnya, tapi prestasi ubudiyah di mata Allah dan rasul-Nya sangat mengagumkan.
• Kemiskinan tak menghalangi kita untuk tafaqquh fiddien, memahami agama dan menambah ilmu pengetahuan.
• Keberkahan usia tidak diukur seberapa lama kita hidup. Tapi seberapa besar prestasi yang kita ukir di dunia ini. Dzul Bajadain hanya berusia 23 tahun. Walau demikian ia mampu mengambil hati Allah dan rasul-Nya.
• Mahalnya harga sebuah hidayah. Berada di pangkuan hidayah, hidup terasa berpelangi. Itulah yang dirasakan oleh Dzul Bajadain. Maka ia rela semua barang miliknya disita oleh pamannya selama iman di hati tetap tumbuh dengan suburnya.
• Istiqamah di atas jalan ketaatan, merupakan sebab meraih ridha Allah dan rasul-Nya.
• Dalam keadaan sulit dan terpaksa, kita boleh merahasiakan keIslaman kita. Dzul Bajadain merahasiakan keIslamannya selama 3 tahun, karena khawatir disiksa oleh paman dan masyarakatnya yang notabene penyembah berhala.
• Disyari’atkannya bertawassul kepada orang-orang shalih. Dengan minta do’a kepada mereka dengan do’a-do’a yang baik. Tentunya orang shalih yang masih hidup dan bukan orang yang telah tiada.
• Dibolehkannya memberi gelar kepada orang lain dengan gelar-gelar yang baik.
• Menghormati dan menghargai orang lain bukan hanya ketika masih hidup, begitupun setelah kepergiannya. Seperti yang diperbuat nabi saw. Di mana beliau membuat liang dan menguburkan Dzul Bajadain dengan kedua tangan beliau. Adakah penghormatan dan penghargaan yang lebih tinggi dari ini?.
• Memahat cita-cita setinggi mungkin. Terlebih untuk kebahagiaan hidup di akherat. Sebagaimana ucapan Abdullah bin Mas’ud, “Seandainya saja aku yang berada di liang itu.”
• Dekat dan mencintai orang-orang lemah dan miskin. Seperti yang diperbuat oleh Rasulullah saw terhadap para sahabat yang menjadi ahlu Shuffah. Karena berdekatan dan menyanyangi orang-orang lemah akan menetaskan keberkahan dalam hidup.
• Bersahaja dan sederhana dalam penampilan, melahirkan cinta Allah, rasul-Nya dan manusia.
Saudaraku..
Sanggupkah kita menjadi sosok Abdullah Dzul Bajadain di zaman modern ini? Wallahu a’lam bishawab.
Sumber:Status Ustadz Abu Ja’far
(http://www.facebook.com/profile.php?id=100000992948094)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar